Semua berubah ketika pandemi COVID-19. Keajaiban WFH, jadi momen refleksi hubungan saya dengan ibu. Termasuk menyadari perubahan caranya berjalan.
Kini jalannya pelan dan pendek. Aktivitas berat juga sudah lama ibu tinggalkan. Sholat harus duduk, berjalan dan naik turun tangga pun harus dibantu tongkat.
Selama saya merantau, ibu tidak pernah bercerita tentang sakit lututnya. Baginya, hal sepele seperti sakit lutut tidak perlu dibesar-besarkan.
Tapi nyatanya, sakit lutut ibu berubah drastis dalam 5 tahun.
Memang, usia ibu tidak lagi muda. Masuk usia 50 tahun dengan berat badan berlebih, ibu sudah lama ‘ngeh’ lututnya sering bunyi ‘kritt kritt’ tiap sholat maupun berjongkok.
Berhubung tidak ada rasa sakit, jadi ibu abaikan dan pendam sendiri.
Sudah Coba Susu Kambing dan ‘Alternatif’
Mengandalkan informasi dari grup WA RT, ibu sempat putuskan beli susu kambing yang katanya mampu sembuhkan sakit lutut. Nyatanya, puluhan box susu kambing sudah ibu konsumsi dalam setahun, namun perubahan tak kunjung dialami.
Ibu juga sangat tradisional dan menolak diajak berobat selain ke ‘alternatif’. Seringnya saya kecewa, karena perjalanan panjang dan memakan biaya tidak ada perubahan signifikan
Keputusan Terbesar dalam Hidup:
Resign Demi Ibu
Saya punya ketakutan besar jika ibu jatuh untuk kedua kalinya. Sudah banyak informasi di internet, jika patah tulang, saraf kejepit, dan lumpuh bisa bermula dari jatuh terduduk.
Keputusan untuk resign terus diupayakan agar saya bisa mengawasi dan merawat ibu di rumah. Selain itu, saya tidak mungkin selalu izin kerja untuk anter ibu terapi alternatif ’ yang jadwalnya 2-3x per minggu.
Anehnya, bos justru menolak dan optimis tidak melepas saya. Menurutnya, masih ada jalan keluar untuk kesembuhan ibu tanpa harus mengorbankan pekerjaan.
Saya beranikan tanya, “Adakah solusi yang bapak tawarkan?” Beliau justru balas bercerita.
Hasil browsing di internet tentang alat terapi teknologi laser, ketemulah dengan Evolaser. Alat terapi laser portable dengan gabungan 3 teknologi, teknologi Low Level Laser, TENS, dan NMES.
Awalnya susah mengambil hati ibu untuk terapi dengan alat berteknologi. Namun saya terus membujuknya, “Kita coba 1 bulan dulu bu. Kalau memang tidak ada perubahan, bisa kita hentikan.” Akhirnya ibu setuju terapi dengan Evolaser!
Nyatanya, sudah 3 bulan ibu terapi mandiri di rumah. Perubahan sudah banyak dirasakan ibu. Rasa sakit yang sebelumnya terasa menusuk berangsur pulih berkat rutin terapi dengan Evolaser tiap pagi dan malam.
Sakit lutut yang terasa menusuk mulai mereda.
Berhasil berjalan normal tanpa bantuan tongkat.
Mampu mengikuti gerakan sholat dengan khusyu.
Beliau sering cerita kalau sangat senang dan bersyukur sudah diberikan Evolaser. Sampai saat ini, ibu masih rutinkan terapi sebagai bentuk ikhtiar agar sakit lutut tidak terulang.
Tentang pekerjaan? Saya tidak jadi resign dan kembali merantau untuk bekerja. Tentunya, sambil menjaga komunikasi yang lebih baik dengan ibu.